Selasa, 24 Januari 2023

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PEMERANAN TEATER DAERAH MELALUI KETOPRAK PADA PROGRAM KEAHLIAN SENI TEATER SMKN 1 KASIHAN BANTUL

 Eko Santosa


(Artikel dimuat di Jurnal Sendikraf, Vol. 2, No. 2 November 2021. Dalam unggahan ini abstrak tidak disertakan) 

PENDAHULUAN

Pendidikan teater di sekolah menengah kejuruan memberikan bekal kecakapan kepada peserta didik yang dapat digunakan untuk berkarya di dunia kerja. Oleh karena itu, hal-hal terkait keterampilan berteater diajarkan. Banyak bidang pekerjaan yang dapat digeluti secara profesional oleh seseorang yang ingin belajar berteater. Bidang-bidang tersebut di antaranya adalah pemeranan, tata artistik, penyutradaraan, penulisan naskah, dan manajemen produksi pementasan. Sekolah menengah kejuruan seni teater, sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 06/D.D5/KK/2018 tentang Spektrum Keahlian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/ Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK),  berada di bawah bidang keahlian seni pertunjukan. Berdasar aturan tersebut, seni teater merupakan program keahlian yang memiliki paket kompetensi keahlian berupa pemeranan dan tata artistik. Dengan demikian, sekolah menengah kejuruan seni teater dapat menyelenggarakan pendidikan untuk bidang pekerjaan pemeranan (akting) maupun tata artistik.

Program Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul melatihkan satu paket kompetensi keahlian yaitu, pemeranan. Berkait dengan visi sekolah yang berfokus pada pelestarian dan pengembangan budaya di bidang seni pertunjukan, maka pemeranan teater daerah dan teater modern diajarkan. Pemeranan teater daerah merupakan wujud pelestarian budaya, sementara teater modern sebagai wujud pengembangan budaya. Subjek teater daerah dan modern memiliki pengaruh kuat pada pembelajaran pemeranan karena gaya pemeranan bersesuaian dengan gaya pementasan yang ditentukan. Pementasan teater daerah disajikan melalui gaya pemeranan teater daerah, demikian pula sebaliknya teater modern.

Pilihan istilah teater daerah, dalam hal ini semakna dengan teater tradisional. Beberapa tokoh seni pertunjukan menggunakan istilah teater daerah untuk mewadahi seni pertunjukan khas satu daerah termasuk di dalamnya seni tradisional dan seni bentukan baru. Sedangkan tokoh lain lebih memilih istilah teater tradisional untuk menyebut teater yang tumbuh dan berkembang di daerah tertentu. Murgiyanto, Dkk. (1983), menjelaskan bahwa teater daerah merupakan seni pertunjukan teater yang berkembang dan memiliki ciri-ciri khas suatu daerah tertentu. Sementara itu, Achmad (2006), menjelaskan bahwa teater tradisional adalah teater dalam suatu masyarakat etnik tertentu yang mengikuti tata cara, tingkah laku dan cara berkesenian mengikuti tradisi, ajaran turun-temurun dari nenek moyangnya, sesuai dengan budaya lingkungan yang dianutnya. Dengan demikian, teater daerah dan teater tradisional dapat dimaknai sebagai teater yang berkembang dalam budaya masyarakat tertentu. Oleh karena SMKN 1 Kasihan Bantul berada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, maka teater daerah yang berkembang di masyarakat Yogyakartalah yang diajarkan. Dalam hal ini, ketoprak dipilih menjadi subjek pokok pembelajaran.

Ketoprak sebagai seni teater daerah memiliki perjalanan sejarah panjang. Pada awalnya, ketoprak lahir di Surakarta, namun justru berkembang pesat di Yogyakarta dan mendapat label Ketoprak Mataram (Murdiyastomo, 2019). Sampai saat ini eksistensi kesenian ketoprak di Yogyakarta masih terjaga. Hatley (2008), mencatat bahwa ketoprak yang sebenarnya berasal dari tontonan kampung, memiliki kekuatan tersendiri di dalam pertunjukannya. Kekuatan tersebut mampu memberikan perubahan budaya masyarakat di mana ketoprak tersebut tumbuh. Karena itulah, bukan merupakan hal yang aneh ketika pada satu masa, ketoprak menjadi milik masyarakat di mana hampir setiap kampung memiliki grup dan mementaskannya. Di dalam perkembangannya, banyak kelompok ketoprak dilahirkan dan menjadi acuan pada masanya mulai dari Ketoprak Wreksodiningrat (1908-1925), Ketoprak Wreksatama (1925-1927), Ketoprak Krida Madya Utama (1927-1930), Ketoprak Gardanela (1930-1955) hingga munculnya ketoprak modern, gaya baru, dan sampai ketoprak saat ini (Lisbijanto, 2013). Selain dari nama kelompok, ketoprak juga berkembang sesuai bentuk penyajiannya seperti ketoprak lesung, ketoprak dengan iringan kendang, seruling, dan rebana, serta ketoprak gamelan (Murdiyastomo, 2019). Pementasan ketoprak dapat diselenggarakan di panggung dalam bentuk pendapa, teater arena, lapangan, halaman rumah, atau prosenium.

Dalam hal pemeranan, ketoprak memiliki kekhususan terkait adat istiadat dan budaya. Seorang pemeran mesti memahami tingkatan bahasa Jawa dalam dialog dan bagaimana gerak dan sikap tubuh mesti dilakukan untuk situasi dan kondisi tertentu saat bermain peran dalam ketoprak. Selain itu, aspek lain terkait nilai budaya yang mendukung penghayatan peran sesuai dengan tokoh juga mesti dipahami. Hal ini dikarenakan, seorang pemeran diwajibkan untuk menghidupkan gambaran tokoh yang diperankannya seutuh mungkin melalui gerakan jasmani dan suaranya (Rendra, 2013). Gambaran utuh tokoh ini tidak bisa dihafalkan, dalam artian, penghayatan untuk tokoh satu berbeda dengan tokoh lain dan pemeran mesti bisa memainkan tokoh yang berbeda-beda tersebut. Di dalam ketoprak, perbedaan antara tokoh satu dengan yang lain sangat dipengaruhi lingkungan budaya di mana tokoh tersebut tumbuh sehingga teknik penghayatan peran yang diajarkan bisa menjadi kompleks. Oleh karena itu, untuk mencapai kualitas pemeranan yang baik, upaya pengembangan pembelajaran pemeranan  ketoprak harus dilakukan.

Pengembangan pembelajaran di dalam pendidikan dilakukan untuk mencapai tujuan yang lebih baik. Pengembangan menurut Seels dan Richey merupakan proses penerjemahan atau menjabarkan spesifikasi desain ke dalam bentuk fisik (Setyosari, 2010). Oleh karena itu, proses kegiatan mesti dilakukan secara sistematis mulai dari tahap merancang hingga diwujudkan ke dalam bentuk fisik melalui prosedur tertentu sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang bermakna (Ninit, 2016).  Sementara itu, pembelajaran adalah suatu usaha untuk membuat siswa belajar, sehingga situasi tersebut merupakan sebuah peristiwa belajar atau usaha untuk terjadinya perubahan tingkah laku dari siswa (Sunhaji, 2014). Perubahan tingkah laku terjadi karena adanya interaksi dua arah dari pendidik dan peserta didik, di antara keduanya terjadi komunikasi yang terarah menuju kepada target yang telah ditetapkan (Pane & Dasopang, 2017). Dengan demikian, pengembangan pembelajaran merupakan cara sistematik untuk mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengevaluasi satu set bahan dan strategi belajar dengan maksud mencapai tujuan tertentu. Reigeluth (1983), mengungkapkan bahwa pengembangan pembelajaran dilakukan melalui kegiatan perancangan, produksi, dan validasi (Suparman, 2012). Tiga kegiatan Riegeluth ini mesti dilakukan oleh Program Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul dalam upaya pengembangan pembelajaran pemeranan teater daerah, ketoprak.

Menyalakan Api Di Ruang Kelas Yang Sunyi

(arikel ini dimuat di majalah Artista edisi Desember 2018)

 Oleh: Eko Santosa

Satu waktu di masa lalu, seorang guru menjelaskan materi pembelajaran di dalam kelas. Setelah serangkaian penjelasan dianggap cukup, guru bertanya kepada siswa, “Siapa yang hendak bertanya?”, atau, “Ada pertanyaan?”. Kontan seluruh kelas terdiam. Kelas menjadi sunyi justru ketika guru menawarkan pertanyaan kepada siswa. Kelas menjadi sunyi justru ketika siswa diberi kebebasan untuk bertanya. Jika kemudian guru mencoba memancing situasi agar kelas menjadi hidup dengan memberikan pertanyaan terkait materi yang telah dijelaskan untuk dijawab, kelas justru semakin hening. Kalaupun ada siswa yang bisa menjawab, ia tak segera mengacungkan jari melainkan menunggu ditunjuk. Kalaupun ditunjuk ia akan memberikan jawaban tidak dengan yakin. Intinya, kelas benar-benar sunyi, berada dalam ketegangan. Hanya bunyi bel istirahat atau pulanglah yang bisa mengembalikan kegembiraan mereka sebagai manusia.

Kondisi ini berbeda 180 derajat dengan situasi kelas di negara maju di mana siswanya justru aktif bertanya sebelum guru memberikan kesempatan bertanya. Siswa di kelas tersebut tidak merasakan beban, kelas terlihat hidup dan pembelajaran berjalan menyenangkan. Guru seolah-olah mampu menyalakan api dan siswa menyambut terang api itu dengan ragam ekspresi kegembiraan. Belajar menjadi sesuatu yang didambakan. Mengapa bisa terjadi demikian? Apakah karena siswa di negara maju itu merupakan siswa yang pintar dan berada di sekolah high standard, sementara ruang kelas sunyi berisi siswa kurang pintar dan sekolahnya tak berstandar? Tentu saja tidak.

Penyematan pintar dan kurang pintar terkadang hanyalah anggapan yang terlanjur menjadi keyakinan dan bahkan ukuran. Termasuk di dalamnya penyematan label sekolah terstandar dan tak terstandar. Christoper Phillips (2002) membuktikan hal tersebut melalui serangkaian percobaan terkait proses pemahaman filsafat. Salah satunya, ia bertanya perihal gelas yang diisi separuh air itu sebagai separuh kosong atau separuh isi kepada siswa di sekolah terstandar dengan siswa-siswa yang dianggap pandai dan kelas tak tersandar dengan siswa-siswa yang dianggap nakal dan tentu saja tak pandai. Apa yang ia temui adalah keajaiban di mana siswa-siswa pandai saling bersitegang dalam debat tak kunjung usai antara kelompok yang menganggap gelas itu separuh isi dan kelompok lawannya yang menganggap gelas itu separuh kosong, dengan berbagai alasan. Sementara di kelas yang terdiri dari anak-anak yang dianggap nakal dan tak pandai, jawaban justru sangat beragam. Ada yang menganggap separuh isi, ada yang menganggap separuh kosong, ada yang menganggap penuh dengan partikel, serta ada yang menganggap antara isi dan kosong tak perlu diperdebatkan karena terdapat garis batas yang memisahkan air dan ruang hampa. Jika menilik hasil jawaban atas pertanyaan yang diajukan, maka anggapan terhadap anak-anak nakal dan tak pandai di kelas itu mesti dianulir.

TEATRIKALISME DALAM PEMENTASAN “PEMBERDAYAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA”

Eko Santosa

(artikel ini diterbitkan di Jurnal Sendikraf, Vol.3 No. 2, November 2022. Dalam situs ini diunggah tanpa abstrak)

 

PENDAHULUAN

Pementasan teater “Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga” dengan sutradara Nunung Deni Puspitasari dari Teater Amarta diselenggarakan pada tanggal 23 Oktober 2022 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta sebagai salah satu penyaji dalam Parade Teater Linimasa #5 Dinas Kebudayaan Yogyakarta. Pementasan berdurasi sekitar 45 menit ini dimainkan oleh Siti Nikandaru Chairina, Iin Suminar, Rheninta Herta Riwungudewi, Sulistyarini, Ena Ressia, Kurnia Wuri Dewanti, Triana Budhi, Yanti, Suratini, Embun, Endang Ambar, Ragil Kuning VS., dan Doni Riyanto. Penata artistik pementasan adalah Feri Ludianto yang didukung oleh tim artistik, Andy Tuangke, Rizal E. Arrohman, Regina Gandes M. Alan Daru W., dan Fathur Ramadan sebagai pimpinan produksi.

Naskah lakon “Pemberdayaan Kesejah-teraan Keluarga” yang ditulis oleh Latief S. Nugraha (2022) bercerita tentang kepelikan dinamika kehidupan bermasyarakat ala ibu-ibu rumah tangga yang dipresentasikan melalui peristiwa rapat kerja Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Rapat dilakukan pascasuksesi rezim PKK lama yang digantikan kepengurusan PKK baru, namun dianggap tidak menghasilkan perubahan yang berarti bagi masyarakat. Suasana rapat juga dibumbui cerita seputar kehidupan domestik yang melekat dengan aktivitas keseharian ibu-ibu rumah tangga menjadi cerminan kedaulatan di lingkup keluarga. Namun, dalam rapat tersebut kemudian terjadi perbedaan pandangan seputar peran dan fungsi PKK. Mereka terpisah dalam kelompok-kelompok kecil. Ada dua figur penting representasi golongan tua dan golongan muda yang tidak sejalan dalam menggerakkan PKK, dan ada pula golongan yang tak berpihak, representasi dari ibu-ibu modern yang realistis dan tidak peduli dengan politik. Reformasi PKK telah mengubah struktur pengurus dan kebijakan-kebijakan yang berlaku pada kepengurusan sebelumnya.

Teater Amarta, dalam pementasannya, berkolaborasi dengan Paguyuban PKK Kampung Siliran Yogyakartaibu-ibu rumah tangga yang tidak memiliki pengalaman bermain teater di atas panggung. Selain itu, konsep pementasan disusun dengan menampilkan drama, koreografi, koor, dan tayangan multimedia. Jalinan dari pilihan ragam ekspresi ini dimaksudkan untuk membuat tampilan teater yang berbeda. Sementara itu, pemain gabungan antara aktris teater dan ibu-ibu rumah tangga diharapkan dapat memberikan sesuatu yang lain pada pertunjukan dan segar secara tampilan. Sutradara, dalam booklet pertunjukan menandaskan bahwa peristiwa nyata rapat PKK dapat diadopsi ke atas panggung teater kontemporer Indonesia dengan tanpa kehilangan daya tariknya.

Pementasan teater kontemporer Indonesia menarik untuk dikaji, terutama dari unsur artistik yang melingkupinya. Yudiaryani (2010) menjelaskan bahwa teater kontemporer Indonesia dibentuk melalui perkembangan adaptatif dari teater daerah dan pengaruh kultur teater modern Barat. Catatan perjalanan teater kontemporer Indonesia, menurut Sahid (1999), dimulai dari Rendra yang mana selepas belajar di Amerika Serikat mementaskan teater berjudul “Bip Bop”, pada tahun 1968. Lalu pada tahun 1969 sejumlah karya baru kembali dilahirkan, di antaranya adalah “Piiiieeep” dan “Rambate-rate-rata”. Wujud ekspresi artistik dalam pementasannya berupa gerak-gerak pantomim, tari, suara dengan kata-kata yang minim (Sahid, 1999). Menurut Toda (dalam Sahid, 1999) apa yang disajikan Rendra membukakan wawasan bahwasanya aktor bukanlah budak kata-kata, melainkan pusat pertunjukan. Kemudian muncul beragam sematan nama bagi pertunjukan Rendra tersebut. Subagio Sastrowardoyo menyebut sebagai teater murni, Arifin C. Noer menyebutnya sebagai teater primitif, sedangkan Goenawan Mohamad memberikan nama teater mini kata yang penyematannya disetujui oleh Rendra (Sahid, 1999). Selepas Rendra, muncul berbagai bentuk sajian teater kontemporer yang mencoba menampilkan hal-hal baru baik itu digali dari teater daerah maupun atas pengaruh teater modern Barat.

Malna (1999), mencoba memetakan perkembangan teater Indonesia secara genetis melalui arus pendidikan formal dan arus sanggar. Dari kedua arus ini lahirlah kelompok teater yang menghiasi perkembangan pertunjukan teater kontemporer Indonesia yang semenjak tahun 1970-an berjalan signifikan. Banyak sanggar bermunculan yang diinisiasi oleh pelaku teater dari dua arus tersebut. Oleh Sumardjo (2004), tokoh-tokoh teater pada masa ini disebut sebagai perintis pembaruan. Pada tahun 1990-an, pembaruan teater mencapai puncaknya di mana ragam penampilan teater benar-benar dirayakan dengan berbagai istilah, seperti teater total, teater eksperimental, teater tubuh, dan teater kontemporer (Harun, Kurniasih, Susandro, 2021). Semuanya memiliki makna yang sama di mana pementasan teater mencoba mencari ekspresi baru dan keluar dari konvensi yang telah memublik.

Sementara itu di kultur teater modern Barat, istilah teater kontemporer yang penggunaannya mulai merebak pada tahun 1990 (Chkhartishvili, 2019), diawali dari lahir dan eksisnya realisme sebagai penanda era modernisme dalam teater (Sumardjo, 1993). Gerakan realisme muncul pada tahun 1850-an di Perancis yang mendapat pengaruh dari pemikian Charles Darwin dan Auguste Comte (Sumardjo, 1993). Selain itu, menurut Wickham (2000) kemunculan realisme dalam teater dipengaruhi oleh berkembangnya teknologi, terutama dengan ditemukannya kamera dan film. Hal ini mengubah pandangan pelaku teater dalam berkarya. Di dalam pementasannya, realisme mencoba menampilkan kenyataan hidup seobyektif mungkin (Sumardjo, 1993).

Pada masa kemunculan realisme ini, teater berkembang sangat pesat sehingga banyak lakon dengan latar pemikiran berbeda dituliskan (Hartnoll, 1998). Gaya realis terus berkembang hingga mencapai puncaknya pada sub-genre naturalisme, yang mencoba mengoreksi realisme melalui penampilan teater yang benar-benar menyajikan potongan kehidupan (Wickham, 2000). Naturalisme menghendaki peristiwa di atas panggung adalah peristiwa kehidupan itu sendiri. Koreksi atas realisme ini mendorong lahirnya upaya seniman teater untuk memprotes (tidak sekedar mengoreksi) konsep realisme dengan menyajikan karya dari sudut pandang atau latar pemikiran berbeda atas kenyataan hidup. Upaya ini dilakukan oleh banyak seniman teater sehingga memunculkan beragam gaya pementasan yang oleh Cohen (1994), masa-masa itu disebut sebagai era isme dan kemudian dipertegas menjadi era teatrikal-isme (Cohen, 1994; Cohen & Sherman, 2017).

Menurut catatan, gerakan pertama yang benar-benar menentang realisme adalah simbolisme di mana simbol-simbol digunakan untuk menangkap kemungkinan abstrak dari sebuah drama (Cohen & Sherman, 2017) yang sumber ceritanya adalah kehidupan nyata. Simbolisme kemudian dikenal sebagai new stagecraft yang mencoba mensintesiskan semua aspek artistik pementasan demi menyampaikan pesan (kebenaran) lakon (McTigue, 1992). Namun demikian gerakan atau gaya simbolisme tidak lama bertahan, akan tetapi kepionirannya memicu lahirnya isme-isme baru dalam teater (Cohen & Sherman, 2017) di mana para pelaku teater memiliki ragam sudut pandang atas teater itu sendiri serta keterkaitannya dengan kehidupan dan kebenaran atasnya.

Beberapa pionir dalam masa lahirnya isme-isme ini di antaranya adalah Alfred Jarry, Vsevolod Meyerhold, Yevgeny Vakhtangov, dan Bertolt Brecht. Jarry mementaskan lakon berjudul “Ubu Roi” pada tahun 1896 dan mendapat reaksi luar biasa. Penonton selama pertunjukan saling berteriak, bersiul, dan bahkan bertengkar. Lakon yang merupakan sindiran atas kekuasaan itu kemudian menjadi salah satu pemicu lahirnya gerakan avant-garde selain pementasannya sendiri tergolong sebagai surealisme (Cohen & Sherman, 2017). Sementara itu, Meyerhold mengetengahkan konsep konstruktivisme yang mendorong pelaku seni sebagai seniman sekaligus insinyur. Dalam hal ini, aktor merupakan kombinasi dari seorang seniman yang memahami gagasan dan instruksi sutradara dan eksekutor atas konsep yang ia pahami dalam proses berperan. Tata panggung berupa konstruksi dihadirkan sehingga pemeran harus bisa menyesuaikan diri, melalui keterampilan tubuhnya, ketika memainkan peran (Braun, 2016).  

Sabtu, 25 September 2021

Anekarupa Teater dalam Lomba

 Oleh: Eko Santosa

Program pemberdayaan teater, secara umum telah banyak dilakukan. Baik itu dalam konteks teater profesional, teater komunitas, maupun teater sekolah. Bentuk programnya juga bermacam-macam, ada yang berupa bantuan pendanaan produksi, fasilitasi pementasan, workshop, festival, dan lomba. Dalam khasanah teater sekolah, agenda berbentuk lomba paling banyak dilakukan. Meskipun terkadang namanya adalah festival tetapi konsep utamanya adalah lomba yang menentukan siapa juaranya (championship). Di teater sekolah, lomba ini bisa dilaksanakan secara bertahap dan bertingkat. Misalnya, seleksi awal adalah tingkat kabupaten, berikutnya pemenang dipilih untuk berkompetisi di tingkat propinsi, dan pemenang tingkat propinsi dikirim untuk berkompetisi di tingkat nasional. Namun ada juga lomba teater yang memang diselenggarakan dalam satu waktu, satu tempat, dan satu agenda tanpa berlanjut ke tingkat berikutnya. Banyak hal menarik dapat dijumpai dalam lomba teater yang diselenggarakan, terutama terkait dengan hasil akhir (tujuan) lomba, preparasi serta reaksi terhadapnya. Beberapa jenis teater dapat ditemukan di dalamnya. Penjenisan ini berdasar sifat, sikap, dan cara teater tersebut menghadapi lomba. Uraian berikut menyajikan beberapa jenis teater yang pernah atau mungkin masih muncul dalam perlombaan.

 1.   Teater Protes

Teater protes bukanlah teater yang selalu menyajikan lakon untuk memprotes pemerintah atas keadaan politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Bukan pula teater yang menggelar pementasan di jalan-jalan atau depan gedung parlemen. Teater protes dalam lomba adalah kelompok teater yang mengajukan protes begitu hasil akhir lomba diumumkan. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa jenis teater ini selalu muncul dalam lomba. Sikap kurang percaya pada penjurian, sifat merasa paling baik, dan cara yang ditempuh dalam melakukan protes sangat menarik jika diamati. Padahal secara jelas, di dalam setiap lomba sudah diumumkan – bahkan scara tertulis – ketentuan yang menyatakan bahwa keputusan juri tidak dapat diganggu gugat. Tetapi toh tetap saja teater protes ini hadir mewarnai lomba.

Mungkin banyak peserta lomba teater yang pernah menjumpai kelompok teater protes ini. Ada yang marah-marah tidak jelas di saat acara pengumuman kejuaraan belum benar-benar selesai. Ada yang berani mendatangi panitia dan melakukan protes dengan kalimat keras dan nada tinggi. Ada yang sampai mendatangi ruang singgah juri, dan bahkan ada yang sampai merusak properti lomba. Tingkah-polah yang sebenarnya lucu sekaligus memprihatinkan ini bisa dijadikan pembelajaran bagi seluruh pelaku teater yang mengikuti lomba. Artinya, kehadiran teater protes sebenarnya dapat dijadikan momen untuk introspeksi bagi seluruh kelompok teater bahwa, dunia panggung, dunia lomba, dan dunia seni tidak pernah bisa diukur secara matematis. Hitung-hitungan baik dan buruk, indah dan jelek dalam karya seni itu tidak bisa dikalkulasi seperti halnya penjumlahan dan pengurangan. 

Poin-poin yang disanggahkan oleh teater protes bisa jadi benar, tetapi ada aturan mengikat yang telah disepakati bersama sejak technical meeting di mana keputusan Juri bersifat mutlak. Jalan bijaksana dari sanggahan berdasar yang bisa jadi benar ini dapat berupa tulisan hasil analisis komprehensif yang ditujukan kepada panitia agar kejadian serupa tidak terulang pada penyelenggaraan berikutnya. Namun, situasi dan kondisi saat pengumuman lomba memang selalu panas dan rawan memicu kemarahan terutama ketika terjadi hal-hal yang dianggap tidak sesuai ukuran. Akan tetapi, protes secara emosional, apalagi tak terkendali justru akan merugikan diri sendiri. Jadi perlu sikap bijak dan cerdas dalam hal ini. 

Di dalam banyak pengalaman, dari sekian banyak teater protes yang lahir umumnya mereka memiliki ukuran tinggi bagi karya mereka sendiri. Dalam konteks ini, teater protes tersebut seolah memandang rendah capaian teater lain dan hanya merekalah yang berkualitas. Atas dasar inilah protes itu diarahkan terutama pada kelompok yang terpilih sebagai pemenang. Apa yang dilakukan terkadang tidak memperbandingkan karya secar artistik namun justru mencari-cari kesalahan pemenang. Jika mereka membandingkan karya-karya yang hadir saat lomba secara artistik tentunya protes emosional akan dapat diminimalisasi. Akan tetapi jika yang dicari adalah kesalahan atau kejelekan teater pemenang, maka bisa dipastikan protesnya akan emosional. Pada titik ini segala nilai artistik menjadi hilang karena yang coba digali dan ditemukan hanyalah kesalah-kesalahan. Bahkan ketika tidak ditemukan celah kelemahan, mereka tetap akan berusaha mencari hal-hal yang dianggap kurang tepat meskipun hal-hal tersebut tidak ada kaitannya dengan karya dan bahkan nilai dalam lomba. Intinya, semua hal yang dianggap kurang baik dari teater pemenang akan dikulik. 

Senin, 02 Agustus 2021

Perbincangan Seputar Teater

 Oleh: Eko Santosa

Fakta memperlihatkan bahwa kehidupan teater di kota-kota besar masih bergairah sampai saat ini.  Hal ini ditandai dengan hadirnya kelompok-kelompok teater mahasiswa atau komunitas. Meskipun kebanyakan dari kelompok ini bukan merupakan kelompok profesional, namun antusiasme untuk selalu menghasilkan karya sangat tinggi. Dalam setiap tahun selalu saja ada pementasan teater yang digelar oleh masing-masing kelompok. Lepas dari soal kualitas atau profesionalitas, produksi teater yang dihasilkan memberikan kegembiraan yang luar biasa. Para pelaku teater kampus dan komunitas ini seolah mengabarkan bahwa apapun yang terjadi, teater akan tetap terus diproduksi dan alir generasi tidak akan mati.

Sesuai tradisi teater yang mengedepankan dialektika, proses produksi dan pasca produksi selalu dihiasi diskusi-diskusi, baik di antara mereka sendiri atau dengan mengundang orang lain secara terbuka. Perbincangan dalam diskusi umumnya tidak hanya menyoal gagasan produksi, visualisasi artistik, dan teknis pementasan, namun juga menyasar ke hal-hal yang ada di seputar teater. Bahkan, apa yang di seputar teater seringkali menjadi alasan beberapa orang untuk bergabung ke dalam teater komunitas. Misalnya saja, teater menjadi pilihan untuk meningkatkan rasa percaya diri, menjalin hubungan sosial, berorganisasi, dan melatih manajemen diri. Oleh karena itu, diskusi teater bisa saja berjalan alot dan (sok) idealis, namun perbincangan-perbincangan yang tercipta di sela-selanya bisa jadi sangat cair. Di dalam perbincangan semacam ini, banyak pertanyaan atau keinginan terkait diri dan teater yang hadir. Berikut adalah di antaranya.

 

1.     Antara aktor dan artis

Alasan umum seseorang bergabung ke dalam komunitas teater adalah rasa inginnya untuk menjadi aktor terkenal. Meskipun tidak semua orang memiliki alasan yang sama, namun pesona aktor terkenal ini mampu menjadi daya tarik yang sangat kuat. Tidak mengherankan karenanya, ketika  banyak orang bergabung ke teater memang untuk bermain teater dan bukan menjadi pekerja artistik atau tim produksi. Namun demikian, tidak menunggu waktu lama, hasrat untuk menjadi aktor terkenal tidak dapat menemukan jalannya. Alhasil banyak orang yang kemudian meninggalkan komunitas teater berbarengan dengan orang baru yang ingin bergabung dengan alasan sama. Siklus ini berjalan hampir setiap tahun di teater kampus atau komunitas. Karena siklus ini pula, keberadaan teater kampus atau komunitas yang selalu membuka keanggotaan baru terselamatkan.


Fenomena aktor terkenal yang merasuk dalam pikiran ke setiap orang sebenarnya hanyalah tampilan muka saja. Artinya, orang-orang tersebut tidak paham sepenuhnya profesi aktor. Bahkan kemungkinan besar yang mereka anggap aktor sebenarnya hanyalah artis (selebriti) di dunia hiburan televisi berbasis akting. Informasi tampilan muka para artis yang sebagian besar dibesarkan oleh media menyajikan keindahan gambar atau gemerlap hidup yang menjadi impian banyak orang. Gambaran tersebut benar-benar indah dan menyenangkan. Seolah tidak ada kesedihan dalam diri para artis. Padahal kejadian belakang layar atau kehidupan mereka sesungguhnya mungkin saja berbeda.

 

Dalam banyak perbicangan ringan seputar pementasan, banyak sekali pemeran yang saling bertanya antara satu dengan yang lain soal kualitas penampilan mereka di atas panggung. Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya banal, karena di antara mereka seungguhnya ingin mendapat sanjungan sehingga mimpi aktor yang artis itu bisa semakin dekat. Padahal, bagi aktor profesional, sanjungan bisa jadi tidak perlu dihiraukan karena itu bisa jadi justru menjebak diri mereka dan mungkin malah menjadi hal yang tidak menguntungkan bagi karier. Namun demikian, para calon aktor artis ini merasa bahwa sanjungan diperlukan untuk meneguhkan bahwa mereka memang cocok menjadi aktor artis.

 

Mimpi aktor artis ini merupakan mimpi ideal tertutama berkaitan dengan penghasilan yang mana melalui berita-berita di media disajikan secara glamor kehidupan para artis ini. Hampir tidak ada berita yang menginformasikan proses yang mesti dialami untuk menjadi artis dan apa yang mesti dilakukan untuk bertahan dalam posisi yang sedemikian. Nah, di dalam teater yang sesungguhnya, proses ini sedikit-banyak diwujudkan secara nyata di mana seorang pemeran mesti berlatih dengan keras dan belajar dengan suntuk. Oleh karena itu pulalah, banyak anggota teater berguguran setelah satu atau dua produksi karena mereka merasa tidak segera mendapat ketenaran meski telah bermain peran di atas panggung. Artinya, mulai muncul kesadaran bahwa tangga menuju aktor  artis itu tidak mudah untuk didaki dan teater tidak bisa menyediakan jalan pintas untuk menuju puncak. Hal ini mengakibatkan pupusnya keinginan yang telah pernah membuncah ketika pertama kali bergabung dalam komunitas teater. Orang yang pupus keinginan itu kemudian pergi untuk digantikan orang baru dengan keinginan sama yang membuncah, dan teater kembali menjalani siklusnya.

Kamis, 25 Maret 2021

PRINSIP KERJA AKTOR DALAM PANDANGAN D.W. BROWN

 Oleh : Eko Santosa

Pekerjaan utama seorang aktor adalah akting. Masyarakat mengakui seseorang sebagai aktor karena kepiawaiannya berakting dalam pementasan teater, film ataupun drama televisi yang disaksikan. Karena bergantung pada media yang digunakan dalam unjuk kebolehan, maka seorang aktor harus menjaga keajegan penampilannya. Artinya, ia tidak bisa diam atau absen terlalu lama dari panggung, film, televisi ataupun media lain tempatnya unjuk keterampilan berakting. Untuk itu, aktor harus selalu menyiapkan dirinya baik dalam keadaan sedang terlibat di dalam sebuah produksi ataupun sedang berada dalam aktivitas pendukung lainnya. Sebagai upaya bersiap diri, seorang aktor musti memiliki prinsip yang mana dapat dijadikan patokan atau panduan bagi dirinya dalam melanggenggkan karir yang ditapaki.

D.W. Brown[1] menjelaskan 3 prinsip kerja aktor, yaitu bekerja dengan diri sendiri, tekun, dan selalu mengembangkan kebiasaan baik dalam bekerja. Bisa jadi setiap aktor memiliki prinsip yang berbeda dalam bekerja, namun apa yang disampaikan oleh Brown merupakan prinsip mendasar yang semestinya ada dalam diri setiap aktor. Karena, dalam mengembangkan karir akting, memang seorang aktor tidak bisa tidak bekerja dengan dirinya sendiri, ia juga tidak akan berhasil jika tidak tekun serta tidak mungkin pula ia memelihara kebiasaan buruk dalam bekerja. Guna memberi gambaran penjelas mengenai ketiga prinsip tersebut, berikut diuraikan interpretasi atas pendapat Brown yang disariterjemahkan dari bukunya yang berjudul You Can Act! A Complete Guide For Actors, khusus pada bahasan “Principles for the Actor”, terbitan Michael Wise Production tahun 2009.

1.   Bekerja Dengan Diri Sendiri

Seorang aktor dalam bekerja dengan dirinya sendiri, menurut Brown, mesti terlebih dahulu mengenal diri sendiri. Hal ini merupakan dasar pemahaman karakter diri sebelum memerankan karakter orang/tokoh lain. Berikutnya adalah menjaga kepercayaan diri, memperkaya pengalaman, dan mengembangkan kemampuan tubuh dan suara. Semua ini mesti ada dalam diri dan menjadi semangat bagi seorang aktor untuk bekerja dengan dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena di dalam kerja akting atau pemeranan sebenarnya tidak ada seorang pun yang mampu menggantikan kerja pemeranan selain aktor itu sendiri. Artinya, kemandirian seorang aktor dalam mengembangkan kompetensinya adalah kesemestian.

 a.     Memahami Diri

Brown menjelaskan bahwa kemegahan kebudayaan Yunani Kuno didasarkan pada 2 prinsip yaitu, “Tidak Berlebihan” dan “Memahami Diri”. Aktor, sebagai seorang seniman, mestinya juga memiliki prinsip semacam ini terutama dalam hal memahami diri sebagai manusia. Studi atas diri merupakan jalan yang paling nyata untuk mengembangkan kepekaan indra, kepekaan atas kebenaran, dan apresiasi terhadap kehidupan itu sendiri. Seorang aktor mesti mampu memahami dunia melalui kesadaran atas keberadaan dunia tersebut di dalam dirinya sendiri. Secara lebih khusus, memahami diri bagi aktor sangat penting artinya karena dapat dijadikan pijakan kerja analisis karakter.

 

Seorang aktor mesti mau menerima dirinya apa adanya dan terbuka terhadap dirinya. Ia mesti mempelajari secara mendalam hal-ihwal dirinya. Semua hal yang pernah dilibati dalam kehidupan dapat dipelajari dan dijadikan dasar untuk memahami capaian yang diinginkan. Dalam konteks ini, seorang aktor mesti menyadari bahwa diri dan segala sesuatu yang ada dalam dirinya adalah modal awal yang besar. Kesadaran ini akan mengarahkan aktor pada keberterimaan sehingga ia siap untuk melakukan apa yang diinginkan dengan modal yang telah ia miliki dalam diri seperti pengalaman, pemikiran, perasaan, emosi, filosofi, dan seluruh rangkuman perjalanan hidup yang telah dilalui.

 

Dasar Konsentrasi dan Imajinasi

Oleh: Eko Santosa

Konsentrasi dan imajinasi merupakan hal pokok bagi seorang aktor Di dalam khasanah pembelajaran seni akting, konsentrasi dan imajinasi dapat dikelompokkan ke dalam olah rasa. Meskipun tujuan akhirnya adalah pencapaian penghayatan peran, namun keharusan untuk membangun konsentrasi dan imajinasi adalah landasan dan tahapan yang penting. Banyak ditemui dalam pengalaman latihan kelompok teater amatir fundamen konsentrasi dan imajinasi tidak atau belum diberikan. Pelatihan langsung mengarah pada core konsentrasi dan imajinasi. Umum diketahui, bahwa pelatihan konsentrasi berupa meditasi atau menenangkan dan mengarahkan fikiran untuk fokus dalam satu hal diawali dari pengaturan nafas. Sementara dalam pelatihan imajinasi yang selalu muncul adalah kata atau perintah, “Bayangkan!” dan diikuti instruksi berikutnya. Umumnya latihan ini bersifat improvisasi. Terry Schreiber dan Mary Beth Barber (2005) menjelaskan konsentrasi dan imajinasi yang mesti dibangun oleh aktor dimulai dari dasar. Artinya, pemahaman dan pelatihan konsentrasi tidak langsung menuju pada meditasi dan untuk imajinasi tidak langsung menuju pada sesuatu yang abstrak yang mesti dibayangkan. Konsentrasi dapat dibangun melalui kepekaan indra dan imajinasi dapat dibangun melalui jiwa bermain seperti yang dimiliki anak-anak.

1.     Konsentrasi

Pikiran yang jernih dan perseptif memang merupakan hal yang sangat penting untuk menginterpretasi peran, namun Schreiber dan Barber menyatakan bahwa sesitivitas dan instink tidak boleh ditinggalkan. Tanpa keduanya, latihan konsentrasi hanya akan menciptakan aktor yang mampu berlaku dan berbicara tanpa emosi. Untuk itu, aktor harus dikembalikan kepada pengalaman masa anak-anak dalam meningkatkan kepekaan pancaindra demi mencapai level konsentrasi yang nyata.

 a.   Indra penciuman

Kegunaan indra penciuman di dalam seni akting tidak hanya sekedar untuk menghayati peran terkait dengan bau. Namun lebih dalam, penciuman mampu membawa pikiran seseorang akan orang lain, tempat, peristiwa dan hal-hal lain yang mempengaruhi atau berarti dalam hidupnya. Mungkin kita akan sedikit menyangkal tentang hal ini namun kemudian mengiyakan ketika bau parfum tertentu dapat mengingatkan kita pada seorang beserta peristiwa yang pernah dilalui bersama. Bau-bauan dengan demikian membangkitkan sensitivtas, mendayakan ingatan dan kesadaran serta emosi.


Pelatihan teater dasar terkait indra penciuman ini umumnya dilakukan untuk membedakan bau benda tertentu. Tujuan dasarnya adalah kepekaan akan bau. Secara lebih jauh, Schreiber dan Barber memberikan pemahaman bahwa indra penciuman tidak saja hanya menyangkut kepekaan hidung manusia namun juga akibat fisik dan kejiwaan yang dapat terjadi. Kita mungkin pernah melihat atau mengalami sendiri ketika membaui sesuatu langsung perut kita mual, atau kepala kita pusing atau tiba-tiba membuat kita marah atau tindakan emosional lainnya. Pelatihan indera penciuman oleh karenanya dapat digunakan sebagai pemantik lahirnya konsentrasi.


Ilmuwan, menurut Schreiber dan Barber, mengfirmasi bahwa bau merupakan kunci untuk membuka bawah sadar manusia. Bawah sadar yang akan mengarahkan pada peristiwa dan orang-orang di masa lalu. Hal itu terjadi karena hidung terletak sangat dekat dengan bagian otak yang memiliki fungsi gudang memori, karena itulah sensasi bau sangat khas dan berbeda dengan sensasi indra peraba bahkan penglihatan. Efek utama dari sensasi bau adalah  keterhubungan langsungnya dengan brankas memori yang ada di kepala kita. Meningkatkan kepekaan terhadap bau dapat membantu aktor mengakses kelengkapan perlatan untuk mengingat persiapan dan memperdalam konsentrasi di atas panggung. Pengalaman membuktikan bahwa banyak aktor kenamaan yang bersandar pada sensaisi bau untk membangun kejiwaan peran.


Mengingat gegitu pentingnya penciuman bagi aktor dalam rangka meningkatkan konsentrasi dan menghayati karakter, maka pelatihannya mesti diperhatikan. Bagaimana bau mampu membangkitkan kenangan dan melahirkan emosi atasnya perlu menjadi pertimbangan. Dengan demikian, latihan indra penciuman tidak hanya berhenti pada fungsi fisik hidung dalam membedakan setiap bau yang ada. Sensasi ingatan atau memori aktor mesti bisa dibangkitkan melalui indra penciuman.