Eko Santosa
(Artikel dimuat di Jurnal Sendikraf, Vol. 2, No. 2 November 2021. Dalam unggahan ini abstrak tidak disertakan)
PENDAHULUAN
Pendidikan
teater di sekolah menengah kejuruan memberikan bekal kecakapan kepada peserta
didik yang dapat digunakan untuk berkarya di dunia kerja. Oleh karena itu,
hal-hal terkait keterampilan berteater diajarkan. Banyak bidang pekerjaan yang
dapat digeluti secara profesional oleh seseorang yang ingin belajar berteater.
Bidang-bidang tersebut di antaranya adalah pemeranan, tata artistik,
penyutradaraan, penulisan naskah, dan manajemen produksi pementasan. Sekolah
menengah kejuruan seni teater, sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 06/D.D5/KK/2018
tentang Spektrum Keahlian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/ Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK), berada di bawah bidang
keahlian seni pertunjukan. Berdasar aturan tersebut, seni teater merupakan
program keahlian yang memiliki paket kompetensi keahlian berupa pemeranan dan
tata artistik. Dengan demikian, sekolah menengah kejuruan seni teater dapat
menyelenggarakan pendidikan untuk bidang pekerjaan pemeranan (akting) maupun
tata artistik.
Program
Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul melatihkan satu paket kompetensi
keahlian yaitu, pemeranan. Berkait dengan visi sekolah yang berfokus pada
pelestarian dan pengembangan budaya di bidang seni pertunjukan, maka pemeranan
teater daerah dan teater modern diajarkan. Pemeranan teater daerah merupakan
wujud pelestarian budaya, sementara teater modern sebagai wujud pengembangan
budaya. Subjek teater daerah dan modern memiliki pengaruh kuat pada
pembelajaran pemeranan karena gaya pemeranan bersesuaian dengan gaya pementasan
yang ditentukan. Pementasan teater daerah disajikan melalui gaya pemeranan
teater daerah, demikian pula sebaliknya teater modern.
Pilihan
istilah teater daerah, dalam hal ini semakna dengan teater tradisional.
Beberapa tokoh seni pertunjukan menggunakan istilah teater daerah untuk mewadahi
seni pertunjukan khas satu daerah termasuk di dalamnya seni tradisional dan
seni bentukan baru. Sedangkan tokoh lain lebih memilih istilah teater
tradisional untuk menyebut teater yang tumbuh dan berkembang di daerah
tertentu. Murgiyanto, Dkk. (1983), menjelaskan bahwa teater daerah merupakan seni pertunjukan teater yang berkembang dan memiliki
ciri-ciri khas suatu daerah tertentu.
Sementara itu, Achmad (2006), menjelaskan bahwa teater tradisional adalah teater dalam suatu
masyarakat etnik tertentu yang mengikuti tata cara, tingkah laku dan cara
berkesenian mengikuti tradisi, ajaran turun-temurun dari nenek moyangnya, sesuai dengan budaya lingkungan yang
dianutnya. Dengan demikian, teater
daerah dan teater tradisional dapat dimaknai sebagai teater yang berkembang
dalam budaya masyarakat tertentu. Oleh karena SMKN 1 Kasihan Bantul berada di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, maka teater daerah yang berkembang di
masyarakat Yogyakartalah yang diajarkan. Dalam hal ini, ketoprak dipilih
menjadi subjek pokok pembelajaran.
Ketoprak sebagai seni teater daerah
memiliki perjalanan sejarah panjang. Pada awalnya, ketoprak lahir di Surakarta,
namun justru berkembang pesat di Yogyakarta dan mendapat label Ketoprak Mataram
(Murdiyastomo, 2019). Sampai saat ini eksistensi kesenian ketoprak di
Yogyakarta masih terjaga. Hatley (2008), mencatat bahwa ketoprak
yang sebenarnya berasal dari tontonan kampung, memiliki kekuatan tersendiri di
dalam pertunjukannya. Kekuatan tersebut mampu memberikan perubahan budaya
masyarakat di mana ketoprak tersebut tumbuh. Karena itulah, bukan merupakan hal
yang aneh ketika pada satu masa, ketoprak menjadi milik masyarakat di mana hampir
setiap kampung memiliki grup dan mementaskannya. Di dalam perkembangannya, banyak kelompok ketoprak dilahirkan dan
menjadi acuan pada masanya mulai dari Ketoprak Wreksodiningrat (1908-1925),
Ketoprak Wreksatama (1925-1927), Ketoprak Krida Madya Utama (1927-1930),
Ketoprak Gardanela (1930-1955) hingga munculnya ketoprak modern, gaya baru, dan
sampai ketoprak saat ini (Lisbijanto, 2013). Selain dari nama kelompok,
ketoprak juga berkembang sesuai bentuk penyajiannya seperti ketoprak lesung,
ketoprak dengan iringan kendang, seruling, dan rebana, serta ketoprak gamelan
(Murdiyastomo, 2019). Pementasan ketoprak dapat diselenggarakan di panggung
dalam bentuk pendapa, teater arena, lapangan, halaman rumah, atau prosenium.
Dalam hal pemeranan, ketoprak memiliki kekhususan
terkait adat istiadat dan budaya. Seorang pemeran mesti memahami tingkatan
bahasa Jawa dalam dialog dan bagaimana gerak dan sikap tubuh mesti dilakukan
untuk situasi dan kondisi tertentu saat bermain peran dalam ketoprak. Selain itu, aspek lain
terkait nilai budaya yang mendukung penghayatan peran sesuai dengan tokoh juga
mesti dipahami. Hal ini dikarenakan, seorang
pemeran diwajibkan untuk menghidupkan gambaran tokoh yang diperankannya seutuh
mungkin melalui gerakan jasmani dan suaranya (Rendra, 2013). Gambaran utuh tokoh ini tidak bisa
dihafalkan, dalam artian, penghayatan untuk tokoh satu berbeda dengan tokoh
lain dan pemeran mesti bisa memainkan tokoh yang berbeda-beda tersebut. Di
dalam ketoprak, perbedaan antara tokoh satu dengan yang lain sangat dipengaruhi
lingkungan budaya di mana tokoh tersebut tumbuh sehingga teknik penghayatan
peran yang diajarkan bisa menjadi kompleks. Oleh karena itu, untuk mencapai
kualitas pemeranan yang baik, upaya pengembangan
pembelajaran pemeranan ketoprak harus
dilakukan.
Pengembangan pembelajaran di dalam
pendidikan dilakukan untuk mencapai tujuan yang lebih baik. Pengembangan
menurut Seels dan Richey merupakan proses penerjemahan atau menjabarkan
spesifikasi desain ke dalam bentuk fisik (Setyosari, 2010). Oleh karena itu,
proses kegiatan mesti dilakukan secara sistematis mulai dari tahap merancang
hingga diwujudkan ke dalam bentuk fisik melalui prosedur tertentu sehingga
dapat menghasilkan sesuatu yang bermakna (Ninit, 2016). Sementara itu, pembelajaran adalah suatu
usaha untuk membuat siswa belajar, sehingga situasi tersebut merupakan sebuah
peristiwa belajar atau usaha untuk terjadinya perubahan tingkah laku dari siswa
(Sunhaji, 2014). Perubahan tingkah
laku terjadi karena adanya interaksi dua arah dari pendidik dan peserta didik, di antara
keduanya terjadi komunikasi yang terarah menuju kepada target yang telah
ditetapkan (Pane & Dasopang, 2017). Dengan demikian, pengembangan
pembelajaran merupakan cara sistematik
untuk mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengevaluasi satu set bahan dan
strategi belajar dengan maksud mencapai tujuan tertentu. Reigeluth (1983), mengungkapkan
bahwa pengembangan pembelajaran dilakukan melalui kegiatan perancangan,
produksi, dan validasi (Suparman, 2012). Tiga kegiatan Riegeluth ini mesti
dilakukan oleh Program Keahlian Seni Teater SMKN 1 Kasihan Bantul dalam upaya
pengembangan pembelajaran pemeranan teater daerah, ketoprak.